5 FAKTOR PERUSAK DEMOKRASI INDONESIA

Standar
  1. BANALITAS POLITIK

Apa yang dimaksud dengan BANALITAS POLITIK?

           Seperti diketahui, istilah banalitas politik, sebenarnya terkait dengan banalitas kejahatan (banality of evil), buah pemikiran Hannah Arendt, meksipun filsuf Jerman berdarah Yahudi itu menolak pengaitan banalitas politik dengan banalitas kejahatan. Segenap sudut di negeri ini tidak pernah kekurangan politikus banal. Banalitas itu tampak dalam setiap tampilan yang tampaknya saja dikemas demi kepentingan umum, tapi ternyata ujung-ujungnya adalah duit untuk kantong pribadi.

           Banalitas itu bisa menjelma dalam program yang tampaknya mengangkat sungguh martabat orang miskin, tapi ternyata setelah ditelusuri motifnya justru demi terdongkraknya citra diri dan pundi-pundi sang politikus. Simak saja korupsi bansos yang melibatkan Wali Kota Bandung Dada Rosada. Tidak heran menurut Vedi R Hadiz, ilmuwan sosial Indonesia sekaligus Professor of Asian Societies and Politics untuk Asia Research Centre, Murdoch University Australia menyebut para politikus seperti itu sebagai predator (2003).

Politik yang Sejati

           Lalu apakah kita harus “cuek” pada politik? Penulis jadi ingat pada Prof Piet Go, dosen penulis era 1980-an di STFT. Menurut beliau, setiap warga negara tidak boleh apatis atau apolitik setiap kali melihat praksis poltik yang penuh lumpur kekotoran. Kita semua punya tanggung jawab politik. Apalagi di negeri ini, segala sesuatu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari politik. Semua hal selalu bermuatan politik. Jika kita menyerahkan segala sesuatu atau semuanya pada para politikus banal, banalitas akan menyeruak ke mana-mana.

           Jadi, sesungguhnya kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan politik ke makna sejatinya. Makna poltik yang sejati seperti diungkapkan Thomas Aquinas, filsuf dan teolog abad pertengahan, selalu terkait dengan bonum commune, upaya mewujudkan kesejahteraan bersama. Sayang, mentalitas KKN yang berorientasi pada egosentrisme atau keakuan telah membajak makna politik yang sejati.

           Menjadi tugas kita semua untuk mengembalikan makna politik pada tempat yang seharusnya. Makna politik yang begitu mulia tidak selayaknya ditaruh dalam lumpur kehinaan. Tentu untuk itu, kita tidak harus menjadi politikus. Entah wartawan, penulis, anggota LSM, atau rakyat biasa, punya tanggung jawab mengupayakan terwujudnya makna politik yang sebenarnya mulia itu. Kita bisa terus berpartisipasi. Partisipasi itu tidak harus ditunjukkan selama pemilu atau pilgub saja. Rakyat bisa menjadi bagian dari pressure group yang memantau setiap tingkah polah politikus atau penguasa. Atau kita semua bisa membangun koalisi untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah, baik di pusat atau daerah, terlebih kini sudah tersedia media sosial seperti Facebook atau Twitter yang kekuatan dan pengaruhnya tidak bisa diremehkan.

           Jika tingkah polah mereka merugikan, jangan dipilih lagi, baik dalam pilgub, pileg maupun pilpres. Kalau pengadilan menjadi alat untuk transaksi jual beli perkara para elite, mari berdoa semoga Tuhan memberikan pemimpin seperti Jokowi. Jokowi adalah “darah segar” dalam perpolitikan kita sehingga apatisme publik akan politik bisa dihentikan atau berhenti dengan sendirinya. Jika ada lebih banyak sosok mirip Jokowi, golput pasti akan rendah. Maklum, persepsi akan pemimpin yang dekat dengan rakyat, membumi, serta ingin mewujudkan bonum commune ditemukan dalam sosok Jokowi. Lagi pula, Jokowi bukan pemimpin yang banal meski doyan musik cadas. (Sumber: Sinar Harapan, 6 September 2013)

 

 

Mengapa BANALITAS POLITIK ini terjadi?

           Banalitas politik (banality of politics), yang diciptakan para politikus di negeri ini telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme, sehingga menggiring ke arah “pengkerdilan politik”, yang kini menggan­tungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh, kader atau partai politik.

           Kasus-kasus hukum seperti korupsi dan suap yang menyeret beberapa politikus yang ditampilkan di berbagai media massa akhir-akhir ini menunjukkan betapa para politikus tidak mampu menjalankan politik bernilai tinggi dan bermartabat. Anehnya, mereka gemar mereproduksi politik remeh-temeh tersebut.

Sementara itu , banyaknya golput (golongan putih) dalam pemilu legislatif tahun 2004 dan terutama 2009 karena ketidakpercayaan masyarkat akar rumput terhdap partai politik tidak juga menjadi pelajaran berharga dan penting untuk memperbaiki para kader atau partai politik di negeri ini.

           Kini, penyaluran aspirasi rakyat lebih banyak melalui jalur di luar partai. Padahal, secara konstitusional partai politik bagian dari sistem demokrasi kita, sebagai penyalur resmi cita-cita dan harapan rakyat. Bahkan, yang lebih menyedihkan, partai diinyalir telah menjadi “pengeruk” uang negara melalui para kadernya yang melakukan korupsi. Tidak hanya itu, berbagai keputusan DPR dan DPRD seringkali sangat melukai hati rakyat, membuahkan reaksi negatif masyarakat bawah dan mencipatkan citra buruk para para politikus itu sendiri. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan sistematis korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Inilah banalitas politik yang sedang “digandrungi” para politikus di negeri ini.

           Ini dikarenakan di dalam partai politik itu sendiri bersarang sistem feodal “patron-client’’, baik berdasarkan pada politik uang maupun kekuasaan/kedudukan. Di sini partai politik sehaharusnya berhati-hati dan mawas diri. Euforia reformasi masih menyisakan banyak persolan. Feodalisme dalam partai politik harus segera dihentikan dan diganti dengan sistem demokrasi yang lebih subtanstif, bukan bersifat prosedural semata. Moralitas elite politik harus ditegakkan. Citra buruk partai politik akibat perilaku tidak etis dan “politik banal” yang dilakukan para anggotanya harus disegera dibenahi.

           Politik seharusnya dimainkan para politikus dengan moral yang tinggi.  Dalam hal ini, Susan Mendus dalam karyannya Impartiality in Moral and Political Philosophy (2002), menyebutkan bahwa politik bisa menjadi baik apabila ia memiliki landasan moral yang kuat.Dalam konteks inilah politik memerlukan orang-orang yang baik, orang-orang yang memiliki moral yang tinggi. Negara bisa menjadi baik apabila penyelenggaranya baik dan memiliki dedikasi yang tinggi.

           Sebenarnya, di negeri ini, jumlah orang baik tidak kurang untuk mengisi struktur-struktur politik kenegaraan yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah mereka sering terbius uang dan kekuasaan. Wajah idealis mereka berubah menjadi pragmatis. Bahkan, orang-orang (politikus) yang baik, sengaja disingkirkan lawan politik demi politik yang remeh-temeh (hanya mencari uang dan kekuasaan).

Bagaimana Cara Mengatasi BANALITAS POLITIK?

           Seorang politikus tidak harus menciptakan ketegangan antara moralitas dan politik karena seperti yang digambarkan oleh Susan Mendus guru besar filsafat politik di Universitas York, Inggris, yang menegaskan bahwa politikus memiliki integritas moral yang rendah. Mereka melakukan banyak hal buruk, termasuk berbohong, untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya, termasuk partainya. Para politikus sudah seharusnya memiliki landasan moral yang tinggi dalam berpolitik. Politik harus benar-benar dijadikan alat untuk mensejahterakan rakyat. Jangan sampai politik mendapat citra buruk dari masyarkat karena perbuatan atau perilaku politikus yang tidak beradab, remeh-temeh dan banal.

           Selain itu, para politikus seyogyanya mengedepankan budaya politik toleran, yaitu budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar dan adil yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama secara efektif demi kepentingan rakyat banyak.

           Para politikus harus menghindari budaya politik yang memiliki sikap atau mental absolut, yaitu  budaya politik yang  memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang danggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Mereka harus mengutamakan budaya politik yang memiliki sikap atau mental akomodatif  dengan bersikap terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga, termasuk kritik konstruktif. Mereka harus melepaskan ikatan tradisi patron-klien, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Dalam konteks Indonesia dengan segudang persoalan (ekonomi, politik, hukum, sosial) perlu ada seorang pemimpin yang  mau menerima kritik konstruktif dan mau meninggalkan budaya politik yang mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Segala bentuk narsisme dan hasrat politik rendah harus segera ditinggalkan. Tanpa itu, bangsa ini tidak akan pernah bisa berubah menjadi lebih baik dan persoalan-persoalan bangsa tidak akan pernah selesai.

           Di sini dibutuhkan seorang pemimpin (presiden) yang memiliki sikap  atau mental  yang tegas dan berani dalam menghadapi kemulut persoalan bangsa yang semakin rumit dan  harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.

 

 

 

  1. POLITIK PENCITRAAN

Apa yang dimaksud dengan Politik Pencitraan?  
           Politik pencitraan adalah bisa sistematik dalam penilaian terhadap suatu subyek, yang terjadi karena melakukan generalisasi dari satu aspek penilaian sehingga mempengaruhi seluruh aspek penilaian. politik pencitraan ini biasanya terjadi pada saat pertemuan pertama. Terjadinya politik pencitraan dikarenakan cara berpikir individu yang cenderung membuat kategorisasi-kategorisasi mengenai sifat manusia, yaitu kategorisasi sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk. Percobaan menarik pernah dilakukan Harold Kelley pada tahun 1950. Ia menuliskan dua daftar kata sifat yang menggambarkan dosen tamu yang akan mengajar para mahasiswa yang menjadi objek penelitiannya.           
Dua daftar kata itu adalah :

  1. Orang yang sinis, rajin, kritis, praktis dan teguh pendirian
  2. Orang yang ramah, rajin, kritis, praktis dan teguh pendirian

          Hasilnya, para mahasiswa yang membaca daftar A memiliki kesan sangat buruk tentang sang dosen tamu, jauh sekali bila dibandingkan dengan para mahasiswa yang membaca daftar B, padahal seperti yang kita lihat, kata-katanya identik kecuali kata pertamanya. Begitu kita membaca kata pertama, semua kata lainnya tersaring melalui persepsi awal kita tentang dosen tamu ini, yaitu sinis atau ramah. Percobaan menarik lainnya pernah dilakukan oleh tiga serangkai T.Higgins, WS. Rholes dan CR. Jones. Mereka membagi dua kumpulan obyek penelitian. Obyek penelitian pertama, sebelum dipertemukan dengan seseorang diperdengarkan kata-kata : sembrono, angkuh, suka menyendiri dan keras kepala. Sedangkan kelompok obyek penelitian yang lain diperdengarkan kata-kata : petualang, percaya diri, mandiri dan gigih.
          Hasilnya, obyek penelitian yang diperdengarkan deretan kata-kata positif akan memandang orang yang akan dipertemukan dengan mereka sebagai orang dengan karakter positif, dan sebaliknya obyek penelitian yang diperdengarkan kata-kata negatif akan memandang orang yang akan dipertemukan dengan mereka sebagaiorang dengan karakter negatif. Walaupun kata-kata ini tidak ada hubungannya dengan orang yang akan dipertemukan, akan tetapi karena kata-kata itu beserta maknanya secara tidak sadar telah masuk ke dalam benak para obyek penelitian, dan akhirnya diasosiasikan dengan orang yang ditemuinya kemudian.  

          Jadi jika Anda ingin bertemu seseorang dan membuat kesan pertama yang mengagumkan,tanamkanlah kata-kata positif pada orang itu sebelum Anda menemuinya, melalui cara apapun. Seperti hal nya seorang pembicara publik yang dalam penampilannya selalu didahului dengan musik dan prolog kata-kata positif oleh pembawa acara yang dapat membantu sang pembicara menemui audiens dengan kesan yang positif. Sedemikian besarnya pengaruh kesan pertama, membuat perusahaan-perusahaan yang peduli pada citra perusahaan selalu memaksimalkan desain kantor bagian depannya menjadi menakjubkan untuk mengaitkannya dengan kondisi kantor secara keseluruhan.
          Selain itu, hal penting yang tidak boleh dilupakan saat menemui seseorang adalah Senyum. Sebuah senyuman mengandung empat hal penting yaitu : kepercayaan diri, kebahagiaan, antusiasme dan penerimaan terhadap orang lain. Orang tersenyum dianggap percaya diri karena ketika seseorang gugup atau tidak yakin pada diri sendiri maka kecenderungannya adalah tidak tersenyum. Senyum menunjukkan kebahagiaan, sudah pasti. Dan kecenderungan manusia akan menyukai orang-orang yang bahagia. Senyuman menunjukkan antusiasme karena senyuman menunjukkan bahwa kita senang bertemu dengannya, kita memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu dengannya dan ia akan menganggap kita tertarik dengan hal-hal yang akan dibicarakan kemudian.
          Dan terakhir, senyum menunjukkan penerimaan kita terhadap orang lain, karena dengan senyum berarti kita bahagia menerima kehadirannya dihadapan kita. Bahasa tubuh juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Tangan terbuka, wajah dan tubuh menghadap lurus kepada orang yang sedang berbicara adalah bahasa tubuh dasar yang penting dalam sebuah komunikasi. Tangan tertutup atau menyilang mengisyaratkan penolakan atau proses defensif. Sedangkan wajah dan posisi tubuh tidak berhadapan lurus menandakan kita tidak fokus dan cenderung mengabaikan keberadaan orang yang kita ajak berbicara.    
          Namun, dibalik semua bahasa tubuh itu, satu hal yang penting untuk diingat adalah selalu berpikir positif kepada siapapun yang kita temui akan memperlihatkan suatu hal yang positif dalam tampilan diri kita dimata orang yang kita temui.        

 

 

Untuk apa politik pencitraan?

           Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.            
           Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-nya. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya. Dalam pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image. Namun dalam teori Marxis dikatakan bahwa orang seringkali terjebak dengan citra, karena memilih dengan kesadaran palsu, membeli citraan yang palsu. Ketika dia sudah membeli baru ketahuan banyak hal yang buruk.      
           Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan mengkonstruksi semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya kebenaran dimanipulasi. Dalam bukunya simulation, Jean Baudrillard mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan.           
           Citra politik dan simulakra politik akan menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai kekuatan politik. Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan tontonan; segala kekuatan bahasa (language power); kekuatan simbol (symbolic power) dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa (mass consciousness), dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih dari iring-iringan simulakra belaka.            
           Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan realitas atau hanya mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan ideologi. Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau permirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu Hamad: 2-3).
           Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput dari keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah. Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral.

 

Bagaimana bahaya politik pencitraan?

           Sebagai tahun politik, tahun 2014 semakin memanas. Berbagai peristiwa politik mengindikasikan meningkatnya persaingan antarpartai dan kandidat. Ketika berbagai lembaga survei dan media massa mewartakan meroketnya popularitas Jokowi, berbagai manuver dan perang opini terus berusaha meyakinkan kita bahwa perang dan persaingan sesungguhnya baru saja dimulai. Ada kader partai tertentu yang “ditugaskan” untuk membangun opini, mengkritik sosok tertentu, mencari kesalahan lawan politik dan membeberkannya ke publik, dan sebagainya. Ini menjadi strategi politik memperbaiki citra, meningkatkan elektabilitas, mengalihkan isu, membangun opini publik dan semacamnya.       
           Media massa konvensional dan media sosial sibuk mendiskusikan siapa yang pantas memimpin republik ini lima tahun ke depan. Ada yang mengusung tema “mencari” sosok pemimpin ideal, “merindukan” pemimpin yang pro rakyat, “menanti” pemimpin yang merakyat, “memburu” pemimpin yang anti korupsi, dan semacamnya. Semua diskursus publik ini bermuara pada upaya mengidealisasi pemimpin yang pantas memimpin Republik ini. Sementara di lain pihak, figur-figur publik calon presiden “sibuk” mencitrakan dirinya.           
           Benar bahwa praktik politik dalam demokrasi modern tidak bisa dipisahkan dari politik pencitraan. Kesadaran bahwa pencitraan memainkan peran penting dalam praktik politik muncul pertama kali tahun 1960 ketika Richard Nixon yang memenangi perdebatan Presiden AS di radio justru kalah telak oleh John F. Kennedy dalam perdebatan di TV. Terpilihnya John F. Kennedy sebagai presiden AS tidak terlepas dari politik pencitraan ketika media massa merepresentasikannya sebagai figur ideal dalam seluruh aspeknya. Sejak saat itulah praktik politik AS tidak pernah bisa lepas dari politik pencitraan. Para kandidat presiden tidak segan-segan mengeluarkan uang ratusan milyar Rupiah, tidak hanya untuk konsultasi dan pemasaran politik, tetapi juga untuk mengubah penampilan, gaya rambut, gaya pakaian, cara menghadapi media, teknik meredam serangan lawan, dan sebagainya. Di AS sendiri, politik pencitraan yang dimenjadi bagian dari praktik politik yang demokratis mencapai puncaknya sejak tahu 2000-an dan terus dipertahankan hinggah kini.      
           Politik pencitraan ala Indonesia mulai dipraktikkan sebagai bagian dari praktik politik sejak zaman reformasi, terutama sejak SBY maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat menantang Megawati Soekarnoputri dari PDIP pada tahun 2004. Beberapa ahli dan konsultan politik lulusan AS sangat berjasa dalam merepresentasikan sosok SBY ke publik, tidak hanya sebagai figur yang disakiti (diberhentikan sebagai menteri oleh Megawati Soekarnoputri), tetapi juga sosok yang gagah, ganteng, santun, berwibawa, mampu menahan emosi, dan semacamnya. Representasi sosok semacam ini tentu bertolak dari kajian ilmiah persepsi masyarakat mengenai sosok yang disenangi, dan konon mereka menyukai figur SBY sebagaimana dikemas dan dipasarkan konsultan politik.
           Sejak saat itu – dan tampaknya akan terus begitu – politik pencitraan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik politik di negara ini. Karena itu, tidak mengherankan jika calon-calon presiden 2014 rajin mencitrakan dirinya. Ada yang tiba-tiba rajin “blusukan”, ada yang mencitrakan dirinya sebagai pejuang kaum miskin, pembela produk dalam negeri, bermain bola dan rela mandi lumpur dengan sekelompok anak desa, pro petani dan nelayan, pro pedagang kecil, anti ekonomi liberal dan ribuan ikon lainnya. Ada juga yang memperbaiki penampilan fisiknya supaya tampil lebih bergaya, funky, gaul, wangi, menyukai genre musik atau film tertentu, dan semacamnya, yang semuanya dimaksud untuk menarik dukungan pangsa pemilih tertentu.
           Kalau pun politik pencitraan mulai diterima sebagai semacam kelaziman, itu tidak berarti bahwa ia lolos dari evaluasi kritis dan sanggahan etis kita. Politik pencitraan menurut Margaret Scammell, ahli pemasaran politik dari London School of Economic (LSE) dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang punya reputasi baik. Dalam arti itu, yang dilakukan dalam seluruh usaha mengemas dan menjual sosok calon pemimpin sebenarnya adalah menjual reputasi orang tersebut, dan itu semata-mata diartikan sebagai “…trustworthiness and credibility of the candidates or parties” (2006). Dalam arti itu, politik pencitraan adalah hal yang baik secara etis. Memasarkan seseorang yang mempunyai reputasi baik seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab moral memperkenalkan sosok yang layak menjadi pemimpin bangsa untuk menghindari negara ini jatuh ke tangan orang yang buruk dan tidak bertanggung jawab.
           Masalahnya, politik pencitraan sekarang, terutama dalam konteks pemasaran politik, direduksikan hanya sebagai “branding”. Diadopsi dari dunia ekonomi, “branding” sebenarnya adalah upaya meyakinkan publik bahwa barang dan jasa yang dipasarkan pantas dibeli bukan pertama-tama karena kualitas, tetapi karena kemampuan pemasar menciptakan kesan mendalam dalam kesadaran publik mengenai barang dan jasa tersebut. Dikontekskan dalam pemasaran politik, “branding” lalu dipahami sebagai usaha menganeksasi kesadaran publik bahwa sosok atau tokoh tertentu adalah berbeda dari tokoh lain, khas, ideal, bukan pertama-tama karena kualitasnya, tetapi karena kemampuannya membangkitkan kekaguman publik. Trik-trik pemasaran figur publik dipersepsi tidak melulu rasional karena mengeksplorasi juga aspek-aspek psikologis dan bawah sadar, termasuk kekaguman akan figur-figur yang gagah, ganteng, berwibawa, cool, dan semacamnya.
           Pergeseran praktik politik pencitraan dari upaya mempromosikan figur yang berkualitas kepada usaha merebut kekuasaan menimbulkan dampak etis yang dapat merugikan publik sendiri. Pertama, praktik semacam itu mengaburkan esensi politik, bahwa politik adalah panggilan, bahwa hanya orang-orang yang berkualitas secara manajerial dan etislah yang pantas memimpin republik ini. Kedua, kita melanggengkan hasrat primordial manusia untuk berkuasa dengan memanfaatkan segala cara demi merebut kekuasaan tersebut. Akibatnya, kita akan memiliki pemimpin yang terus bersolek dan hanya memperhatikan penampilannya saat jutaan masyarakat menderita kemiskinan dan ketidakadilan. Ketiga, kelaziman mengamini penampilan sebagai yang seolah-olah merepresentasikan kenyataan objektif sang pemimpin hanya akan menumpulkan kesadaran kritis kita untuk mengambil jarak demi melawan praktik-praktik kekuasaan yang korup dan tidak manusiawi. Mengawali tahun politik 2014 seharusnya berarti meningkatkan kewaspadaan terhadap praktik politik pencitraan. Semoga kita tidak lekas percaya pada kubur yang dicat putih, padahal di dalamnya penuh dengan tulang-belulang yang busuk baunya.


 

  1. NARSISME DEMOKRASI

Apa Itu Narsisme ??

          Mungkin bagi beberapa orang, sudah pernah mendengar kata narsisme. Narsisme merupakan sifat manusia yang cenderung mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Bagi mereka dengan karakter narsisme, memiliki rasa percaya diri yang luar biasa. Kepercayaan dirinya membuat mereka merasa lebih dari orang lain dan tidak ada satu orang pun yang mampu menandingi kehebatan dirinya. Hal inilah yang membuat mereka selalu mengharapkan orang lain akan mengagumi dirinya. Apabila orang lain memuji kehebatannya maka mereka yang narsisme akan merasa sangat tersanjung. Tapi jika ada yang melebihi kemampuan yang dimiliki oleh mereka yang narsisme maka orang tersebut akan dianggap musuh bagi mereka.            
          Awal istilah narsisme berasal dari mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda yang bernama Narsisius. Ia merupakan orang yang sangat mengagumi dirinya sendiri karena ia adalah putra dewa sungai, Cephissus. Yang dilakukan ia setiap hari adalah selalu bercermin diatas sungai yang bening untuk melihat paras wajah yang memang tampan. Karena ketampanannya, sehingga membuat dirinya jatuh cinta pada dirinya sendiri. Ia pun rela menceburkan dirinya ke dalam danau, hanya untuk menggapai bayangan dirinya, hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di dalam danau. Melalui kisah ini, akhirnya menjadi mitologi untuk menggambarkan pribadi-pribadi yang mengagumi dirinya secara berlebihan. Individu yang berkarakter narsisme memang selalu senang pada sesuatu yang berbau sanjungan dan pujian, mereka sangat independent dan sulit didekati. Mereka juga sangat terpacu oleh kekuasaan dan kesuksesan. Tetapi pribadi narsisisme adalah pribadi yang penuh ambisi dan visi.           
          Bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan, mereka bisa menjadi inovator yang handal. Tetapi karena ambisinya, pribadi narsisisme cenderung memiliki jiwa kompetisi yang berlebihan. Hal ini terkadang ia cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi dan menyalurkan jiwa kompetisinya. Sehingga tidak mengherankan jika mereka juga memiliki jiwa manipulatif. Biasanya pribadi narsisme sulit menerima kritik dan tidak memiliki empathy terhadap orang lain serta bukan pendengar yang baik. Mereka juga cenderung membuat keputusan tanpa mempedulikan orang lain dan memaksa orang lain untuk mendengarkan ceritanya tanpa mau mendengar cerita orang lain. Mereka juga sulit berbagi dengan orang lain dan meminta orang lain untuk mengikuti jadwalnya.     

          Karena memang perilaku individu narsisme selalu terpusat pada diri sendiri (self centered). Ia merasa dialah yang superior, paling mampu, paling pandai, paling penting dan paling segalanya. Mereka akan sangat puas jika semua orang mengakui kehebatannya. Tapi ada satu sisi positif dari pribadi narsisme yaitu penuh inovasi, percaya diri dan independent. Sisi positif ini bisa anda miliki untuk menambah kualitas diri tapi di sisi negatif, sebaiknya tinggalkan karena hanya akan merugikan diri sendiri. Hal yang perlu anda ingat adalah saat meraih kesuksesan, anda tidak bisa mengandalkan diri sendiri, meskipun hebat dan kualitas yang anda miliki mencukupi. Sosialisasi, interaksi, kerjasama, kekompakkan dan kerelaan untuk berbagi dan mendengarkan selalu anda butuhkan dalam meraih kesuksesan.

 

Untuk apa narsisme demokrasi ini?

           Narsissme demokrasi ini dilakukan untuk menaik simpati para masyarakat agar lebih mengenal para calon pemimpin dengan menggunakan media pengiklanan atau spanduk-spanduk di pinggir-pinggir jalan. Dan berangkat dari fenomena ini, dapat dikatakan bahwa dunia politik kontemporer kita secara umum telah terjangkit wabah narsisme politik. Para kandidat telah bertransformasi menjadi seorang selebriti demi mencapai suatu citra dan persepsi yang berorientasi populis. Gejala narsisme ini berjalan linier seiring dengan perkembangan budaya televisi dan era digital. Akibatnya politik pun telah memiliki kaitan yang erat dengan budaya populis yang narsistis. Budaya populis yang mengacu pada market oriented  secara pragmatis. Sehingga disadari atau tidak, politik pun terjerembab kedalam kancah besar  political entertainment sesaat dan terkadang sesat.  
           Era ini juga membuka lembaran baru gaya berpolitik para politisi. Mereka lebih suka retorika daripada karya. Mereka lebih tertarik pada fashion ketimbang vision. Hal ini mengerucut pada kondisi hiperrealitas, yakni realitas yang dikemas dalam media, sebuah keadaan dimana media massa bahkan lebih berkuasa dari sang penguasa dalam hal menyebarkan pesan dan simbol kepada publik. Simbol dan pesan politik yang narsistis-populis yang seolah-olah telah menjelma menjadi pakem politik itu sendiri.      Dalam situasi seperti inilah kemudian masyarakat harus dihadapkan pada situasi yang serba lintas batas. Situasi di mana peran politisi dan selebriti menjadi semakin kabur. Hal ini dapat dilihat dari  bagaimana fenomena selebriti berduyun-duyun menjadi politisi. Dan, di sisi lain, politisi pun berbondong-bondong untuk tampil dan menginisialisasi diri  layaknya seorang selebriti melalui narsismenya. Pada tataran inilah narsisme-populis politik pun semakin tumbuh subur dalam ruang atmosfer politik kontemporer kita.
           Memang, fenomena budaya populis dan narsisme adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari.  Politik tidak bisa kemudian melepaskan dirinya sendiri terisolasi  sebagai menara gading eksklusif yang menafikan faktor-faktor populis tersebut.  Walaupun kemudian dibutuhkan penyesuaian, mengingat ada sisi negatif yang juga dimiliki budaya populis itu sendiri. Sehingga politik tidak hanya sekedar berbalut citra dan persepsi, apalagi kalau hal tersebut ditopang oleh nuansa politik pragmatis transaksional yang menyesatkan.  
           Paling tidak ada dua kata kunci yang bisa menjelaskan fenomena narsisme dan budaya populis ini dalam ruang politik, yakni ‘citra’ dan ‘instan’. Variabel citra di sini menekankan pada pentingnya aspek kemasan dibandingkan dengan substansi yang ada di dalamnya. Unsur pesona dieksplorasi sedemikan rupa sehingga menjadi magnet politik terhadap publik. Dalam konteks politik, berbahayanya variabel ini, seorang pemimpin yang terpilih dari sebuah proses politik pada akhirnya akan lebih berorientasi pada citranya di hadapan publik dibanding dengan  tercapainya visi-visi yang seharusnya dia emban.    
           Sementara variabel instan merujuk pada karakter budaya populis yang bersifat pragmatis,  ringan, trendi, dan market oriented. Dalam karakter budaya seperti ini, hasil akhir (output) menjadi lebih penting dibandingkan dengan proses yang menopangnya untuk sebuah capaian politik. Jangan heran kalau kemudian lahir para politisi instan atau karbitan  tanpa modal pengalaman dan track record yang memadai untuk mengelola sebuah manajemen publik.  Lahirnya pemimpin-pemimpin politik seperti ini pada akhirnya tentu saja akan melahirkan sistem politik yang hanya bersifat artifisial. Sebuah sistem politik yang berorientasi pada kerja ‘hiburan’ belaka demi menyenangkan basis konstituennya secara sesaat. Dalam kondisi ini, visi-visi dan program kerja tentu saja tidak akan pernah menyentuh kebutuhan mendasar (basic need) masyarakat yang sesungguhnya.       
           Persoalannya sekarang, semuanya terpulangkan pada sikap politik publik, apakah gaya politik narsisme-populis mendapat ruang di hati publik atau sebaliknya. Kata kuncinya seberapa tinggi tingkat pendidikan dan kecerdasan politik publik dalam menyikapi hal tersebut. Sementara di sisi lain, bagi para elite (kandidat) perlu menyikapi narsisme politik ini secara cermat. Bukankah  narsisme lebih mempertotonkan fenomena panggung politik: menang sorak, tetapi belum tentu menang sabung? Persoalan menjadi runyam ketika yang terjadi akhirnya adalah: menang sorak, tetapi kalah sabung!   
           Memang, untuk membangun sistem politik yang sehat dan demokrasi yang kuat, tidak saja dibutuhkan kecerdasan dan kecermatan, tetapi juga kesadaran politik yang kuat pula. Jangan lupa, bahwa tujuan politik seyogianya membangun realita, bukan memoles citra. Sehingga pekerjaan yang paling berat dalam membangun sistem politik dan konstruksi demokratisasi itu adalah: perjuangan melawan lupa.

 

Bagaimana akibat dari narsisme demokrasi?

           Akibat sifat narsis ini, berbagai tindakan, keputusan, dan strategi politik pun sangat dibentuk oleh sifat popularitas yang menggiring ke arah “pandangkalan politik”. Tokoh atau kader partai politik menggantungkan hidupnya pada citra permukaan. Hal-hal yang bersifat subtansial (ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya)  dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan sejenisnya). Fenomena seperti ini bagaikan racun demokrasi yang ironisnya justru tumbuh subur di era demokratisasi seperti sekarang ini. Sifat narsis akan semakin terlihat manakala kita me­nyak­sikan pemimpin partai politik melirik para artis yang memiliki popularitas kaliber nasional di mata masyarakat untuk dijadikan sebagai kader partai atau calon legislatif. Inilah wajah narsis partai politik lainnya yang saat ini sepertinya sedang menjadi trend di negeri ini.

           Manifestasi narsisme poli­tik juga bisa diteropong lewat berkoarnya pemimpin-pemim­pin partai menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran yang seakan-akan berpihak kepada rakyat. Mereka seolah-olah memperjuangkan secara tulus aspirasi masyarakat. Padahal, kalau diamati secara seksa­ma, ini semua memiliki maksud dan tujuan yang tidak lain adalah menaikkan citra partai dan meraih dukungan rakyat di Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 men­datang. Di sinilah ketulusan dan keikhlasan orang-orang partai dalam memperjuang­kan rakyat betul-betul diuji.

           Di sini pulalah kita me­nyak­sikan kekuatan “mantra narsistik” yang digunakan politisi untuk membangun citra baik partai tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Bahkan, beberapa citra itu tidak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra seringkali terputus dari realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri inilah yang menggiring ke jurang “narsisisme politik” (political narcissism).

           Sesungguhnya keberadaan narsisme ini sangat berba­haya. Hal ini disebabkan narsisme lebih banyak mera­yakan budaya permukaan dibandingkan budaya keda­laman. Rasionalitas yang dibangun adalah rasionalitas wajah, popularitas semu, dan penampilan sesaat. Narsisme politik mengingkari budaya kedalaman (substansi) politik. Akibatnya, demokrasi subtan­sial (kesejahteraan, kemak­muran, keadilan, dan sete­rusnya) yang seharusnya diwu­judkan oleh partai politik melalui program dan kinerja politiknya, menjadi sangat sulit tercapai.

           Maka tidak heran, banyak di sudut kota dan pelosok desa terpampang foto dan gambar-gambar calon-calon pejabat negara, baik di tingkat legis­latif maupun eksekutif. Mere­ka berlomba meraih simpati masyarakat dengan cara membangun politik narsis. Kesadaran masyarakat pun terkadang terperosok ke da­lam kesadaran palsu, yaitu distorsi pada tingkat kesa­daran karena distorsi realitas. Pada titik inilah, pendidikan politik luhur yang semestinya diterima rakyat, tidak terwujud.

           Sekali lagi, narsisme poli­tik, yang memiliki kecende­rungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan mem­bawa tatanan politik yang luhur. Politik narsis hanya akan menciptakan kader partai berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar, karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku “seolah-olah” lainnya. Namun, semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka.

           Di panggung politik, para kader partai mengkonstruksi citra partai  dengan sebaik, secerdas, seintelek, sesem­purna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan panda­ngan umum terhadap realitas diri partai sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai dicip­takan untuk mengelabui per­sep­si dan kesadaran publik. Maka tidak heran, di satu sisi kita menyaksikan partai politik yang getol menyua­rakan gerakan antikorupsi, namun, di sisi lain, kita juga melihat sebagian kadernya justru terlilit korupsi.

           Akibat lanjutan dari nar­sisme politik adalah “keseketi­kaan politik” yang hanya merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tidak menghargai proses politik berkualitas dan bermakna. Aneka citra politik, misalnya jujur, cerdas, bersih, Islamis, nasionalis, atau nasionalis-religius adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, ide, dan prestasi politik. Namun, mentalitas “mene­rabas” telah mendorong tokoh politik menjadi miskin pres­tasi dan mengambil jalan pintas  dengan memanipulasi citra instan.

           Inilah dampak negatif ketika partai politik dan politisinya sudah menge­depankan narsisme politik. Kader partai mengeluarkan aneka trik, bujuk rayu, persu­asi, dan retorika komunikasi politik yang bertujuan meya­kinkan rakyat bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal, citra-citra itu tidak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah asli yang penuh kepalsuan, kebo­hongan, dan kepura-puraan. Buktinya, banyak kader partai akhir-akhir ini, baik dari partai beraroma keagamaan maupun nasionalis, terlibat aksi peram­pokan uang rakyat (baca: korupsi). Dalam kondisi seperti ini, rakyat perlu bersikap kritis dan cerdas terhadap segala bentuk perilaku narsisme politik yang saat ini sedang “digandrungi” partai politik beserta aktor-aktornya, teruta­ma menjelang tahun 2014, sebagai tahun panas bagi dunia politik. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan memperhatikan sepak terjang aktor-aktor politik yang ada di negeri tercinta ini.

          Kita mesti pandai mem­baca percaturan politik dalam negeri, apakah tindakan poli­tik sudah berjalan sesuai moralitas yang tinggi atau belum. Apakah elite politik sudah mampu menjadikan politik sebagai alat mense­jahterahkan rakyat apa belum, dan sudah seberapa besar kontribusi partai-partai politik dalam menciptakan kemajuan bagi bangsa dan negara ini.

 

 

 

  1. INTIMIDASI SUARA

Apa iti intimidasi?

intimidasi yaitu tindakan menakt-nakuti atau memaksa dengan kekuatan dalam hubungan antara orang, antara kelompok, atau antara orang dan kelompok, dengan tujuan agar pihak yang ditakuti atau dipaksa mau melakukan perbuatan yang diinginkan oleh pihak yang memaksa atau menakut-nakutinya. Jadi intimidasi suara itu bisa di artikan dengan pemaksaan suara pada saat pemilhan suara / pemilu.

Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:

1)      Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.

2)      Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.

3)      Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.

Bagaimana bentuk intimidasi suara itu?

Disini bentuk intimidasai terbagi menjadi 2, yaitu :

  1. Intimidasi berbentuk ancaman fisik misalnya pemukulan dan berbagai penganiayaan badan.
  2. Intimidasi berbentuk ancaman non-fisik misalnya penyebaran isu yang menakutkan atau menimbulkan kekhawatiran.

Nah disini dapat dilihat bahwa intimidasi suara ini termasuk kedalam bentuk intimidasi non-fisik. Tindakan intimidasi ini muncul karena perbedaan kepentingan atau tujuan antara pihak yang berhubungan, baik dalam kepentngan politik, ekonomi, maupun social. Tindakan intimidasi sering kali dilakukan oleh para penguasa terhadap orang-orang yang menginginkan kebebasan, misalnya dengan pemaksaan pemilihan hak suara.

Untuk apa intimidasi suara?

Dengan adanya intimidasi suara maka kelompok-kelompok atau orang-orang tertetntu ini menggunakan intimidasi suara untuk keuntungannya sendiri misalnya untuk kemenangan partianya dengan memaksa memilih partainya atau kelompoknya supaya menang dalam pemilihan terebut.

 

  1. POLITIK TRANSAKSIONAL

Apa itu Politik Transaksional?

           Politik transaksional, sering kita mendengar istilah tersebut. Secara gamblang, orang yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Kalau dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.            
           Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.   
           Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon bupati, maka Partai B mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.
Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional. Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.
Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.          
           Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri.

 

Fenomena

           Adanya persepsi buruk bahkan kekecewaan rakyat terhadap pilar-pilar demokrasi seperti partai politik (parpol) dan berbagai institusi negara yang tidak mampu menjalankan fungsinya. Merujuk pendapatnya Mahfud MD (1998), pertentangan antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris menjelaskan, bahwa sistem politik suatu negara dapat saja dikatakan demokratis, tetapi esensinya sebenarnya otoriter, karena demokrasi justru disalahgunakan hanya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Begitu juga sebaliknya, bahkan negara-negara yang sangat otoriter dapat mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis, karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk melindungi kepentingan rakyat.

           Pemilihan umum (pemilu) adalah suatu mekanisme yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan demokrasi. Namun, tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis. Hal itu terbukti menjelang pemilu 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah banyak menemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu, seperti money politics, black campaign, kampanye tidak sesuai jadwal, kampanye barbau sara, kampanye menggunakan fasilitas negara, dll. Lebih dari itu, parpol yang sebenanya menjadi alat untuk memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat juga telah berubah menjadi tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elite politik yang berkuasa. Karena sejak mulai proses perekrutan, mayoritas parpol hanya membuka pintu bagi mereka yang memiliki modal finansial dan modal celebrity  untuk diberi kesempatan maju sebagai calon pemimpin, maka munculnya perilaku koruptif dari kader parpol tidak terhindarkan.

           Sungguh ironis, sering sekali rakyat melihat ungkapan para politisi yang berteriak lantang ingin memberantas korupsi, padahal dirinya sendiri yang terlibat korupsi. Hal itu terlihat dari sebagian besar kasus korupsi, seperti kasus century, kasus cek pelawat, kasus wisma atlet, kasus hambalang, kasus daging impor, dll. Semua aktornya adalah mayoritas dari kalangan oknum kader parpol yang duduk di pemerintah, anggota parlemen sampai pemimpin di tingkat daerah.

 

Untuk apa Politik Transaksional?

           Fenomena diatas menunjukkan bahwa tidak bekerjanya demokrasi diakibatkan oleh konspirasi yang berbasis politik transaksional dan mengarah pada perilaku korupstif. Sebuah realitas politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan tertentu hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu (at the expense of the general will).

           Apalagi menjelang pemilu 2014, politik transaksional marak terjadi baik di tubuh parpol maupun di institusi negara. Memang secara konstitusional, parpol ditempatkan sebagai peserta dalam suatu pemilu untuk memilih anggota legislatif (Pasal 22E UUD 1945). Dengan kata lain, tanpa parpol mustahil seseorang dapat menjadi anggota legislatif yang juga tergabung dalam “fraksi” yang merupakan representasi dari eksistensi parpol di DPR. Selanjutnya, anggota legislatif yang merupakan kader parpol diberikan mandat konstitusional untuk mengadakan fit and proper test dalam merekrut calon pejabat publik, setidaknya calon pejabat publik mulai dari Hakim Agung, Kapolri, pimpinan lembaga negara sampai Gubernur Bank Indonesia yang terlebih dahulu harus lolos ujian di lembaga legislatif. Hal itu mencerminkan pentingnya sebuah parpol dalam demokrasi di Indonesia.

           Sayangnya, fungsi strategis parpol tersebut selama ini tidak dijalankan dengan baik. Sehingga ada kesan yang dapat dibenarkan, bahwa anggota legislatif dalam melakukan proses seleksi pejabat publik hanya menggunakan kekuasaannya belaka atau bahkan dimanfaatkan oknum-oknum agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Inilah konsekuensi politik transaksional yang diperagakan parpol saat menjalankan fungsi perekrutan politik. Pada titik inilah, pejabat publik di setiap institusi negara rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional.

 

Bagaimana solusi untuk menghadapi Politik Transaksional?

           Negara yang demokratis tidak akan datang dengan sendirinya, kita patut berusaha supaya demokrasi yang secara normatif dan ideal menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita negara berjalan linier dengan demokrasi empiris yang betul-betul dibangun demi melindungi kepintangan seluruh rakyat, bukan demokrasi yang berwajah otoriter yang dibangun atas dasar kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Dalam setiap sistem politik yang demokratis, parpol merupakan pilar utama demokrasi yang sangat penting untuk diperkuat derajat institusinya (the degree of institutionalization). Tidak ada alternatif terhadap langkah-langkah solutif, kecuali penguatan derajat parpol termasuk juga terhadap kader-kadernya yang harus memiliki integritas dan tidak korup, perbaiki sistem kepartaian, penguatan platform partai, kaderisasi, rekrutmen politik yang betul-betul memperhatikan kualitas dan integritas.

           Kondisi politik akan menjadi lebih baik apabila semua pilar-pilar demokrasi kembali kepada tujuan dan cita-cita mulianya, yaitu semua demi kepentingan rakyat. Sehingga harapan pada pemilu 2014, dapat menghasilkan pemimpin yang betul-betul berkualitas dan berintegritas.  Pada akhirnya dapat menghadirkan sebuah negara demokratis yang menjadi harapan seluruh rakyat.

 

 

Sumber :

http://harianhaluan.com/index.php/refleksi/6708-banalitas-politik-para-politikus

http://abubakarabdurrahman.blogspot.com/2009/07/media-dan-politik-pencitraan.html

http://jeremiasjena.wordpress.com/2014/01/19/bahaya-politik-pencitraan/

http://www.sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=31&id=40143&Itemid=100042

http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/25518-narsisme-politik-dan-racun-demokrasi

http://www.haluankepri.com/opini-/50860-narsisme-politik-menang-sorak.html

http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-intimidasi/

http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/379/216758/demokrasi-berwajah-otoriter

http://muamarrizapahlevi.blogspot.com/2012/06/politik-transaksional_26.html